Bisnis.com, JAKARTA – Legenda sepak bola dunia asal Argentina, Diego Armando Maradona Franco, meninggal dunia dalam usia 60 tahun dengan pernyataan medis menyebutkan kematiannya disebabkan serangan jantung meski sekitar 2 pekan sebelumnya menjalani operasi otak.
Jelas bahwa Maradona pesepak bola terhebat di dunia pada masanya dan untuk sepanjang masa, dia sering dibandingkan dengan legenda asal Brasil Edson Arantes do Nascimento alias Pele.
Di perempat final Piala Dunia 1986 di Stadion Azteca di Mexico City melawan Inggris, Maradona membuat dua gol yang menghasilkan reaksi bertentangan. Gol pertama dia cetak dengan tangan, dan kemudian menyebutnya sebagai "gol tangan tuhan", sedangkan gol kedua yang hanya berjarak waktu 4 menit merupakan salah satu gol paling indah di sepanjang sejarah Piala Dunia.
Gol kedua Diego Maradona yang termasyhur kala menghadapi Inggris dalam Piala Dunia 1986 bermula dari gerakannya yang memutar mengecoh tiga pemain Inggris, diteruskan dengan sentuhan paling cekatan untuk memulai dribel luar biasa yang menggiring bola tanpa bisa dihadang oleh lima pemain Inggris termasuk kiper Peter Shilton.
Teknik dan improvisasi semacam itu hanya bisa dipelajari dari ruang-ruang sempit di jalan-jalan dan arena main sepak bola kampung, yang dipersembahkan oleh seorang pemain yang biasa menghindari tempelan ketat pemain lain ketika berlaga dalam arena-arena tanpa wasit.
Keterampilan semacam ini hanya bisa muncul dari orang yang tahu pasti bahwa dia bisa merangsek untuk memperagakan keterampilannya.
Baca Juga
Ini juga merupakan momen aksi individual nan cemerlang dan spontanitas yang banyak kalangan khawatirkan hilang dari para pemain muda dewasa ini yang lebih memilih belajar bagaimana bermanuver di barisan belakang lawan dan cenderung memperhatikan hal-hal taktis.
"Akademi-akademi dipenuhi oleh para pelatih, sepak bola yang terlalu terorganisir, tertata, segalanya ketat dan sentuhan satu dua. Biarkanlah mereka menggiring bola," kata mantan pemain sayap Inggris Chris Waddle.
Wadlle menilai pemain-pemain sepak bola saat ini tak berani menahan bola sendirian sambil merangsek maju, sebaliknya menjalankan taktik oper ke oper yang sering kembali ke lini belakangnya sendiri. "Mereka terlalu kebanyakan berlatih dan takut kehilangan bola," tambahnya.
Itu sebaliknya dengan Maradona. Dia tidak pernah takut kehilangan bola atau takut cedera di lapangan sepak bola.
Dalam sepak bola klub di Argentina, Spanyol, dan Italia, para pemain bertahan menempuh segala cara, dengan sah atau tidak, untuk menghentikan dia yang membuat mereka malah terlihat sama malangnya dengan apa yang dilakukan Peter Reid dari Inggris di Stadion Azteca di Meksiko kala itu.
Namun Maradona memiliki kepercayaan diri, tekad, dan arogansi untuk terus membuat pemain-pemain Inggris itu terlihat seperti orang-orang bodoh.
"Anda bisa tahu dia berasal dari sepak bola jalanan," kata mantan satu timnya di Sevilla, Rafa Paz, yang menguliti bakat dan keterampilan Maradona yang mumpuni yang tak bisa dimatikan pemain lawan.
Legenda Argentina itu jelas bukan pemain terakhir yang bermain pada level tertinggi setelah mempelajari keterampilan bermain dalam sepak bola informal.
Pemain yang mengantarkan Prancis juara Piala Dunia, Zinedine Zidane, juga tumbuh di distrik keras La Castellane di Marseille, bermain dalam pertandingan di Place Tartane, dan penampilan Maradona pada Piala Dunia 1986 menginspirasi gelandang yang kemudian bermain di Juventus dan Real Madrid itu.
"Saat itu saya berusia 14 tahun, dan ketika Anda berusia 14 tahun, Anda mempedulikan segalanya. Pada saat itulah saya menyadari pemain seperti apa dia, menciptakan perbedaan seperti yang dia lakukan. Dia sendirian memenangkan pertandingan," kata Zidane.
"Itu hal ekstra yang dia miliki dibandingkan pemain lain. Pada 1986, dia sudah berada di level lain."