Bisnis.com, JAKARTA - Pelatih lokal sepak bola Indonesia seharusnya tak kalah saing dengan pelatih asing untuk menukangi klub-klub di dalam negeri, termasuk yang akan berkompetisi di Super League yang mulai bergulir akhir pekan ini.
Terlebih dengan segudang pelik sepak bola Indonesia, pelatih "asli" dalam negeri tentu lebih khatam seluk beluk sepak bola tanah air, mulai dari pengembangan pemain dari akar rumput hingga masuk dalam klub profesional, sehingga para pelatih lokal layak untuk diorbitkan mengampu dan bersaing di kasta tertinggi Liga Indonesia.
Namun, ciri pelatih lokal yang bisa memanfaatkan daya kecepatan dan bermain direct attack serta menjadi guru untuk pemain-pemain muda hasil binaan akademi, perlahan meluntur di kasta teratas Liga Indonesia.
Padahal, sejarah mencatat, pelatih lokal telah membuktikan kapasitasnya dengan membawa klub yang diarsitekinya bersaing dalam perebutan gelar juara di kompetisi kasta teratas Liga Indonesia.
Sebut saja magis dari Rahmat Darmawan yang mampu membawa tim muda Persipura Jayapura menjuarai Liga Indonesia pada musim 2004/2005.
Tercatat juga nama-nama pelatih Indonesia yang legendaris telah melejit semenjak era 1994 ketika Persib Bandung dapat mengangkat trofi juara kala diasuh oleh Indra Thohir.
Baca Juga
Kemudian muncul nama-nama pelatih mumpuni Indonesia lainnya yang bisa mengangkat trofi Liga Indonesia seperti Rusdy Bahalwan, Edy Paryono, Syamsuddin Umar, hingga Sofyan Hadi.
Terakhir, pelatih Indonesia yang bisa membawa timnya mengangkat trofi Liga Indonesia adalah Djadjang Nurdjaman. Djanur, sapaan akrabnya, meracik skuad Maung Bandung yang tampil beringas dan mengangkat trofi keduanya pada musim 2013/2014 silam.
Selepas Djanur, pelatih Indonesia telah kehilangan magis dan daya untuk bisa bersaing di kompetisi kasta teratas. Kini pelatih-pelatih asing lebih mendominasi daftar nama pelatih yang sukses mengangkat trofi Liga Indonesia dalam kurun waktu satu dekade terakhir.
Dalam kurun waktu 2014 hingga 2025 tercantum empat nama pelatih asing yang mengangkat trofi kasta tertinggi kompetisi sepak bola di Indonesia, yakni Simon McMenemy (Bhayangkara, 2017), Stefano Cugurra Tecco (Persija Jakarta, 2018, Bali United, 2019 dan 2022), Bernardo Tavares (PSM, 2023), dan Bojan Hodak (Persib Bandung, 2024 dan 2025).
Paceklik pelatih Indonesia
Lambat laun, pelatih Indonesia memang secara tidak langsung tergusur dari kompetisi kasta teratas sepak bola Indonesia karena migrasi besar-besaran pelatih asing.
Klub lebih mempercayakan kursi panas pelatih kepada para pelatih asing yang terkadang kiprahnya pun sebenarnya dari klub antah berantah. Fenomena ini sudah berlangsung cukup lama dan semakin menggerus eksistensi pelatih lokal di panggung Liga Indonesia.
Di musim 2025/2026, tercatat hanya ada satu pelatih Indonesia yang menangani satu klub di papan atas Liga Indonesia. Nama Hendri Susilo, yang melatih Malut United, menjadi satu-satunya nama pelatih Indonesia yang dipastikan akan tampil di Liga Indonesia yang berganti nama menjadi Super League setelah sebelumnya menggunakan nama kompetisi Liga 1.
Perombakan cukup mengejutkan dilakukan di kursi kepelatihan Malut United yang mengganti arsitek lama Imran Nahumamury dengan posisi Hendri Susilo. Padahal Imran sebelumnya mampu mengantarkan Laskar Kie Raha bercokol di peringkat ketiga.
Selain Malut United, perombakan kursi kepelatihan juga terjadi di sejumlah klub lainnya yang memang tengah berbenah di bursa transfer musim panas.
Namun perombakan ini memberikan efek yang menggusur pelatih Indonesia seperti yang terjadi di Persijap Jepara, Bhayangkara FC dan PSIM Yogyakarta.
Tiga klub yang baru dipromosikan dengan jasa pelatih Indonesia tersebut langsung melakukan perombakan di kursi kepelatihan setelah memastikan diri bakal bersaing di papan atas.
Persijap Jepara telah berpisah dengan Widodo Cahyono Putro, juga Bhayangkara FC yang tak lagi memakai jasa Hanim Sugiarto, serta carateker Erwan Hendarwanto tak dipersilahkan untuk menangani PSIM Yogyakarta meski mempromosikan klub setelah perlu menunggu waktu hampir lebih dari dua dekade.
Dengan perombakan tersebut juga memastikan jumlah pelatih Indonesia berkurang keikutsertaannya pada Super League 2025/2026 jika dibandingkan dengan awal musim Liga 1.
Pada Liga 1 musim 2024/2025 terdapat total empat pelatih Indonesia yang menjadi arsitek di empat klub yang tengah berkontestasi pada kasta teratas liga.
Empat pelatih yang bersaing di awal musim tersebut yakni Hendri Susilo (Semen Padang), Imran Nahumamury (Malut United), Rahmad Darmawan (Barito Putera), dan Widodo Cahyono Putro (Madura United).
Jumlah pelatih Indonesia di musim 2024/2025 juga sama dengan awal musim 2023/2024 yang mencatatkan total sebanyak empat pelatih yang bersaing di kompetisi teratas liga.
Nama-nama pelatih tersebut yakni Joko Susilo (Arema FC), Rahmad Darmawan (Barito Putera), Agus Sugeng Riyanto (Bhayangkara FC), dan Aji Santoso (Persebaya Surabaya).
Situasi ini terasa seperti paceklik, yang secara harfiah dalam bahasa Jawa berarti musim yang sulit, dalam perkembangan pelatih Indonesia karena tanpa terbukanya peluang buat bersaing di kasta teratas.
Klub di kasta teratas lebih banyak memberikan kepercayaan ke pelatih asing karena sejumlah faktor di antaranya dapat memperoleh kedekatan dengan para pemain asing, yang dalam kurun waktu tiga musim terakhir selalu mengalami penambahan kuota pemain asing.
Terlepas dari faktor-faktor tersebut, ini merupakan sebuah gejala yang janggal dan harus dicarikan solusi bersama agar pelatih Indonesia juga mampu membuktikan diri bisa berdaya juang di kasta teratas.
Kejanggalan tentu saja terjadi ketika di kasta kedua Liga Indonesia yang mengharuskan setiap klub dilatih oleh pelatih lokal, sedangkan ketika sudah bisa membawa klubnya naik kasta peluang untuk memperoleh kepercayaan kembali melatih seakan sirna.
Padahal pelatih merupakan piramida penting dalam pengembangan sepak bola. Merekalah orang yang pertama kali menemukan bibit dan memberikan kepercayaan menit bermain kepada para pemain.
Contoh saja Jerman yang tak hanya menjadi pabrik untuk para pemain, tapi juga pabrik yang mencetak para pelatih yang diberikan kepercayaan untuk bersaing setelah melewati kawah candradimuka.
DFB, Federasi Sepak Bola Jerman, memang melakukan inovasi dengan program Hennes-Weisweiler Akademie yang merupakan sekolah pelatih level tertinggi.
Dengan kurikulum dan keterampilan yang diperoleh dari kawah candradimuka tersebut, para pelatih Jerman secara tidak langsung mempunyai kemampuan dan program jangka panjang pengembangan sepak bola secara terperinci.
Setidaknya dari Jerman kita belajar, bahwa pelatih 'lokal' merupakan elemen dan faktor penting untuk bisa menghasilkan pabrik yang melahirkan pemain-pemain bertalenta.
Sayangnya dengan sumber daya pelatih di Indonesia saat ini, kendala yang menjadi selilit justru mengenai peluang dan kepercayaan yang sangat minim untuk pelatih lokal.