Bisnis.com, JAKARTA—Keputusan Louis van Gaal mengganti kiper utama Belanda Jasper Cillessen dengan Tim Krul di menit terakhir pertandingan jelang adu penalti saat melawan Kosta Rika pada babak Perempat Final Piala Dunia pada 5 Juli 2014 lalu masih menyisakan teka-teki.
Pasalnya, Tim Krul yang saat ini merumput di salah satu klub Premier League Newcastle United juga tidak jago-jago amat dalam menghadapi adu penalti. Tercatat, selama 5 musim bersama The Magpies, Krul hanya sanggup menangkis 2 dari 20 penalti yang dihadapinya.
Eddward Samadyo Kennedy, penulis buku Sepak Bola Seribu Tafsir, berpendapat bahwa keputusan van Gaal lebih didasarkan pada aspek psikologis, bukan teknis dan taktikal. “Mengganti kiper dengan tiba-tiba di akhir laga tentu akan mengganggu pikiran kubu lawan,” ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (7/7/2014).
Namun di sisi lain, Eddward menjabarkan pada pertandingan-pertandingan sebelumnya di pentas Piala Dunia 2014 ini van Gaal beberapa kali mengambil langkah yang tidak lazim.
Dia mencontohkan, pada pertandingan sebelumnya kontra Meksiko, pelatih yang akan membesut Manchester United musim depan ini mengganti kapten tim dan penggedor utama Belanda sekaligus calon anak asuhnya, Robin van Persie, dengan Klaas Jan Huntelaar.
“Melawan Spanyol di pertandingan pertama, ia bahkan mempersetankan formasi yang sudah sedemikan disakralkan di Belanda, yaitu 4-3-3, dengan menggantinya dengan 5-3-2. Kedua pilihan tersebut sama-sama berujung positif,” tutur mantan wartawan olahraga di salah satu portal berita ini.
Karena hal itulah, Eddward menyebut Van Gaal sebagai pelatih yang sangat metodologis, sebab pelatih berusia 62 tahun ini sangat peka terhadap detail dan punya kemampuan membaca momentum dengan amat cermat.
Hal ini, kata Eddward, yang membedakan dengan coach Kosta Rika Luis Pinto. Dia menjelaskan, jika ditilik sejak dari babak extra time kedua terlihat bahwa Luis Pinto tampaknya agak ogah mengambil opsi adu penalti, yang dicermintkan dari strategi Kosta Rika yang akhirnya lebih aktif menyerang setelah nyaris sepanjang tiga babak (105 menit) terus bertahan.
Pep dan Mou
Josep ‘Pep’ Guardiola dan Jose ‘Mou’ Mourinho, sepasang seteru di Liga Spanyol sebelum keduanya hijrah musim ini ke Jerman dan Inggris, kata Eddward, adalah dua pelatih yang sama-sama punya kecenderungan serupa dengan van Gaal.
Dia menambahkan, Mou bahkan bisa dibilang merupakan pelatih yang mempopulerkan pentingnya pengamatan mendalam terhadap statistik lawan, sebab ia selalu menyesuaikan taktiknya sesuai kebutuhan dan karakter lawan.
“Karena kecenderungan tersebut, maka tim yang dilatih Mourinho nyaris tak punya formasi baku. Namun, ia menekankan semua pemainnya agar dapat mampu bertahan, atau setidaknya memiliki kemampuan untuk merebut bola dari lawan.” ungkapnya.
Eddward menggambarkan, paling menonjol dari penerapan taktik Mourinho seperti disebutkan di atas adalah ketika ia melatih Inter Milan pada musim 2009-2010. Di semifinal leg kedua Liga Champions kontra Barcelona di Nou Camp, Mourinho memplot Samuel Eto'o dan Goran Pandev bergantian mengisi lini pertahanan Inter di sisi kiri.
Sewaktu di Chelsea pertama kali, ujarnya, Mou juga ‘merekayasa’ peran Drogba tak hanya sebagai goal-getter, namun juga sebagai penyerang yang sekaligus pemain bertahan (defensive forward).
Sementara itu, Eddward mengatakan bahwa Pep sejatinya juga tak jauh berbeda dengan Mourinho. Hanya saja, tambahnya, Pep memiliki satu idealisme utuh dalam gaya permainannya yang tak bisa ditawar, yaitu pure short pass atau 100% umpan pendek, ditambah dominasi penguasaan bola yang melibatkan seluruh pemain, termasuk kiper.
“Lihatlah bagaimana ia menjadikan Manuel Neuer di Bayern Muenchen sebagai keeper-sweeper, kiper yang juga sekaligus sebagai penyapu serangan lawan,” katanya.
Untuk mempertahankan gaya ini, paparnya, Pep tak akan membiarkan siapa pun untuk melawan taktiknya tersebut. Di Barcelona, dia menuturkan bagaimana para bintang kelas satu harus angkat kaki karena tidak sesuai dengan karakter permainan yang diinginkan Pep. “Ronaldinho dan Zlatan Ibrahimovic adalah dua contohnya.”
Dalam konteks Indonesia, Eddward yakin bahwa Indra Sjafrie sudah mengawali sepak bola yang metodologis ini melalui Tim Nasional U-19.
Pelatih yang terkenal bertangan dingin ini, ungkapnya, mencari bakat ke seantero Indonesia, membina sejak usia muda, melatih dengan disiplin taktik yang cenderung tidak berubah dan kerap mencarikan lawan latih tanding yang kekuatannya cukup setara.
“Itu artinya, secara metodologis, Indra Sjafrie sudah melakukan sebagaimana pelatih ‘normal’. Sebenarnya untuk hal metodologis, sudah amat jelas yang jauh lebih memerlukan adalah para pejabat di PSSI ketimbang mereka yang bersinggungan langsung dengan bola di lapangan,” ungkapnya.
Percuma berbicara panjang lebar mengenai yang hal teknis, menurut Eddward, jika para pengambil keputusan dan pembuat sistemnya masih bermental korup sejak alam bawah sadar. “Mereka harus disingkirkan dulu, baru kita bisa bicara yang metodologis.”