Bisnis.com, JAKARTA – Sukses tim nasional U-19 Indonesia menjuarai Piala AFF U-19 di Stadion Delta Sidoarjo, Jawa Timur Minggu malam (22/9/2013) dengan menyingkirkan Vietnam dengan skor 7-6 lewat adu pinalti bukan hanya menghilangkan rasa haus Indonesia untuk meneguk gelar juara yang ditunggu sejak menggondol medali emas di Sea Games 1991.
Di kancah Asia Tenggara, Indonesia belum pernah berhasil menjadi juara Piala AFF (dulu Piala Tiger). Prestasi tertinggi Indonesia hanyalah tempat kedua pada 2000, 2002, dan 2005. Di ajang SEA Games pun Indonesia jarang meraih medali emas, yang terakhir pada 1991. Di Piala AFF, prestasi tertinggi lolos dari penyisihan grup.
Di kancah Piala Asia, apalagi. Indonesia meraih kemenangan pertama pada 2004 di China setelah menaklukkan Qatar 2-1. Kedua diraih ketika mengalahkan Bahrain dengan skor yang sama pada 2007, saat menjadi tuan rumah turnamen bersama Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Sukses juara Piala AFF U-19 terasa begitu indah. Terlebih jika mengenang kisah persoalan statuta mengenai ketua umum [saat itu dipegang oleh Nurdin Halid] yang sebelumnya berbunyi "harus tidak pernah terlibat dalam kasus kriminal" (“They..., must not have been previously found guilty of a criminal offense...." ) diubah dengan menghapuskan kata "pernah" (“have been previously") sehingga artinya menjadi "harus tidak sedang dinyatakan bersalah atas suatu tindakan kriminal" (“... must not found guilty of a criminal offense...").
Termasuk jika mengingat Liga Primer Indonesia –yang berdiri Oktober 2010 dan dideklarasikan di Semarang oleh Konsorsium dan 17 perwakilan klub-- kompetisi ini tidak direstui oleh PSSI dan dianggap ilegal. Begitu juga kisah pemecatan dan penunggakan gaji Alfred Riedl yang menimbulkan kontroversial karena pihak PSSI mengaku Alfred Riedl dikontrak oleh Nirwan Bakrie dan bukan oleh PSSI akan tetapi Alfred Riedl membantah hal tersebut dan membawa persoalan ini ke FIFA.
Semua sukses di Piala AFF U-19 Tahun menjadi terasa menyenankan. Membanggakan. Terlebih dicapai oleh pemain yang masih usia belia. Semoga ini menjadi pemicu bangkitnya sepakbola nasional, minimal, di tingat Asean.
Di balik sukses itu, masih dibutuhan kerja keras untuk menggapai hasil yang jauh lebih baik di tingkat yang lebih tinggi. Jika menyimak penampilan para Garuda Muda bermain, ada harapan dalam tempo lima tahun ke depan, Indonesia bisa berbicara di level Asean, setidaknya.
Para pemain ini mampu menguasai diri untuk tetap tampil tenang terutaa saat dalam kondisi diserang. Mereka tidak terburu-buru untuk melakukan serangan balik dengan melakukan long passing ke jantung pertahanan lawan. Mereka berani memainkan bola satu dua sentuhan. Dengan Evans Dimas yang bermain sebagai pengatur serangan, tim ini mampu membangun serangan hingga menembus garis 16 Vietnam, yang mengalahkan mereka 2-1 di babak penyisihan grup.
Pelatih mampu membuat pemain mengubah sikap dalam bertahan. Mereka tidak lagi panik saat memperoleh tekanan. Bahkan mereka terus melakukan tekanan saat pemain lawan menguasai bola. Pemain terdekat selalu menutup rapat ruang gerak lawan yang menguasai bola. Mereka terus menekan.
Mereka pun mampu memanfaatkan lebaran lapangan. Ilham dan Maldini, kerap membuka serangan melalui sayap. Gempuran melalui sayap ini cukup ampuh untuk membuka ruang di tengah pertahanan lawan. Permainan satu dua sentuhan di kotak penalti lawan, pun tidak sekali dua kali mereka perlihatkan.
Mereka yang ditugaskan menjaga daerah pertahanan, tidak mudah terpancing untuk naik membantu serangan secaa frontal. Mereka telah belajar dari dua pertandingan sebelumnya masing-masing melawan Vitenam dan Malaysia. Di mana mereka sering kesulitan menekan ketidaktenangan saat diserang. Mudah panic dan hilang konsentrasi.
Di final, mereka mampu meredam gaya bermain Vietnam. Selain sabar untuk memainkan bola dari kaki ke kaki alias tidak ingin kehilangan bola, Vietnam –seperti di pertandingan penyisihan grup—masih bahkan kerap menerapkan jebakan yang dibalas dengan strategi counter attack. Pemain Indonesia mulai mewaspadai dan mematikan strategi itu. Akibatnya, Vietnam pun tidak berani lagi untuk terus memanfaatkan pola serangan balik.
Kini, Indonesia tinggal mematangkan mental pemain terutama saat serangan sudah memasuki garis 16 lawan. Pasalnya, mereka masih sering terlihat selalu ingin memaksakan setiap serangan untuk selalu diakhiri ke gawang lawan. Mereka masih sering lupa untuk memainkan tempo. Terutama saat pemain lawan telah menumpuk di kotak 16. Padahal, harus ada upaya untuk membuka rapatnya pertahanan lawan dengan menahan tempo atau delay serangan. Caranya: membawa pemain lawan yang bertumpuk di garis 16 untuk keluar sekaligus untuk membuka ruang tembak.
Kemampuan skil individu masih sering dipaksakan untuk menerobos pertahanan Vietnam yang saat diserang sudah ditumpuki pemain dalam jumlah hingga delapan. Mereka [pemain Vietnam] cepat turun membantu serangan dan naik saat menyerang. Ini begitu rutin diperlihatkan Ilham, Evans, Malidini.
Sukses sudah ditoreh para Garuda Muda. Ini saatnya sepakbola kita bangkit. Jangan ada lagi kisah kantor PSSI disegel, pengurus PSSI lapor ke polisi, pencopotan pelatih seperti kasus Alfred Ridel dan Blanco.
Ayo, Ketua Umum PSSI Djohar Arifin realisasikan janji memberikan hadiah kepada timnas U-19 jika menjuarai Piala AFF U-19. Apapaun hadiahnya, itu harus direalisasikan. Janji adalah utang. Terlebih tim ini masih akan menghadapi tugas beratr lainnya ebawa Indonesia lolos ke putaran final AFC Cup U-19, yang belum pernah dinikmati Indonesia.
Kualifikasi Piala Asia - Group G
1.Korea Selatan
2.Indonesia
3.Laos
4.Filipina
Tanggal | Pertandingan | Stadion |
8 Oktober 2013 | Korsel vs Filipina (15.30 WIB) | Stadion Delta Sidoarjo, Jatim |
| Indonesia vs Laos (19.30 WIB) | Stadion Delta Sidoarjo, Jatim |
10 Oktober 2013 | Laos vs Korsel (15.30 WIB) | Stadion Delta Sidoarjo, Jatim |
| Indonesia vs Filipina (19.30 WIB) |
|
12 Oktober 2013 | Laos vs Filipina (15.30 WIB) | Stadion Delta Sidoarjo |
| Korsel vs Indonesia (19.30 |
|