Suata hari, di depan Halte Polda Jaya, sahabat saya dari huta [kampung] yang sudah lama tidak bertemu, berdiri di sisi kanan Metro Mini 604 –Tanah Abang-Pasar Minggu-- terlihat berdialog dengan Polisi Lalu Lintas.
Tak lama, dialog itu selesai. Lalu dia menuju pintu yang biasa digunakan penumpang naik. Sebelum naik, saya memanggilnya. Lalu dia menghentikan langkah dan mencari suara yang memanggil nama kecilnya, Ingot.
“Oi...” sapanya, sambil melambaikan tangan. Saya menghampirinya dan kami bersalaman. Setelah tanya kabar, pembicaraan saya alihkan. “Ada apa dengan polisi?” Dia tersenyum. “Ise na mengatur negara on?” tanyanya. Saya terdiam. “Pemerintahlah,” jawab saya. Dia tersenyum. Katanya,”Salah. Hepeng…” Lalu dia ngeloyor, pergi.
Saya diam sambil menatapnya yang berlari mengejar Metro Mini, yang mulai bergerak perlahan-lahan. “Lusa kita ketemu. Di sini, jam yang sama,” katanya, setengah berteriak.
Gila. Uang mampu mengubah sikap hidup manusia. Lurus menjadi ‘bengkok’. Tapi yang sudah ‘bengkok’, banyak yang sulit ‘diluruskan’ akibatnya ketangkap KPK. Di mana pun itu.
Tak ayal di sepak bola, gara-gara uang, Kongres FIFA tempo hari dan penentuan tuan rumah piala dunia bisa kisruh.
"Saya pikir kami berada di dunia yang fair play, hormat, disiplin dan sayangnya saya harus melihatnya tidak lagi terjadi," kata Presiden FIFA Sepp Blatter pada pembukaan upacara Kongres FIFA. "Ada bahaya," katanya.
Dalam pemilihan tuan rumah Piala Dunia FIFA, ditemui adanya penjualan suara untuk memilih negara yang akan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022. Berdasarkan berita yang dilansir Sunday Times pada Oktober lalu, dua anggota eksekutif FIFA diduga menjual suaranya terkait pemilihan tuan rumah Piala Dunia. Dua orang ini adalah Amos Danamu (Nigeria) dan Reynald Tamarii (Tahiti).
Sementara itu, Wall Street Journal juga mempublikasikan tuduhan adanya praktek suap yang terjadi dalam pemilihan tuan rumah Piala Dunia 2022. Disebutkan, Qatar memberikan uang sejumlah US$78,4 juta atau sekitar Rp697,5 juta pada Julio Grondona, Presiden Asosiasi Sepakbola Argentina.
Kasus penjualan suara ini menjadi salah satu penyebab kenapa Inggris dan Amerika Serikat gagal menjadi tuan rumah Piala Duni 2018 dan 2022.
Jauh sebelum itu, pada 1993, Liverpool dibantai tiga gol tanpa balas oleh Newcastle. Pada saat itu, Newcastle baru promosi ke divisi utama Liga Inggris. Kekalahan The Reds ini sangat mengejutkan banyak orang.
Mengingat pada saat itu, performa tim ini sedang menanjak. Setahun kemudian, 1994, surat kabar The Sun memberitakan kiper Liverpool Bruce Gobbelaar menerima uang 40 ribu pounds untuk pengaturan skor di pertandingan itu.
Situasi itu merangsek ke para sponsor FIFA. Emirates, maskapai penerbangan berbasis di Dubai, dan Visa yang menjadi sponsor terbaru untuk FIFA mengungkapkan keprihatinan tentang berbagai skandal itu. Mereka bergabung dengan sesama sponsor Piala Dunia, Coca-Cola dan Adidas, yang lebih dahulu protes.
"Situasi saat ini jelas tidak baik untuk permainan dan kami meminta FIFA mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan keprihatinan yang telah diangkat," kata Visa dalam sebuah pernyataan.
“Emirates kecewa dengan masalah yang saat ini melingkupi sekitar administrasi olahraga ini," kata Boutros Boutros, Senior Vice President Emirates untuk komunikasi perusahaan dalam sebuah pernyataan.
"Kami berharap masalah diselesaikan sesegera mungkin dan hasilnya demi kepentingan dari permainan itu dan olahraga pada umumnya."
Ketidakpuasan sponsor menumpuk lebih banyak tekanan pada Blatter, yang telah meremehkan kekacauan di peringkat FIFA.
Lalu, ketika FIFA mencurigai ada skandal suap di balik kelahan 0-10 Indonesia dari Bahrain di kualifikasi Piala Dunia agar Bahrain lolos, kita bertanya, mungkinkah itu terjadi?
Mudah-mudahan jawabnya seperti lirik lagu The Beatles. “I'll buy you a diamond ring my friend if it makes you feel all right…. For I don't care too much for money… Can’t buy me love [baca sepak bola]…” (msb)