Anda mungkin masih ingat ketika di bangku SMP atau SMA, seorang teman membawa Tabloid Olahraga Bola ke kelas dan dibaca secara beramai-ramai. Seru lantaran informasi yang dibaca itu terus jadi bahan obrolan sepanjang hari. Kabar terbaru, sang tabloid kesayangan itu akhirnya akan berhenti terbit.
Bagi sebagian orang, rencana berhenti terbit Bola jadi tanda datangnya senjakala tabloid olahraga, menyusul Soccer yang telah ‘mati’ lebih dahulu. Dan sudah lama memang kita membaca tanda-tanda berakhirnya kejayaan media cetak seperti koran.
Tagar #TerimaKasihTabloidBola langsung muncul di Twitter merespons rencana penutupan itu. Orang-orang menyampaikan testimoni, seolah sedang ‘melayat’ di media sosial sambil membagi foto-foto masa lalu.
Halo, BOLAMania, seperti kabar yang sudah beredar, kami memang akan pamitan. Sebagai pembaruan informasi, dua edisi terakhir akan terbit pada Jumat (19/10), yang akan membahas derbi Milano, dan edisi pamitan pada Jumat (26/10).#TerimaKasihPembaca
— Tabloid BOLA (@TabloidBOLA) October 17, 2018
Namun, di tengah matinya satu-dua media itu tidak membuat kita kehilangan informasi sepak bola, justru kini kita dilimpahi dengan begitu banyak variasi dan sumber berita. Tinggal menjentikkan jari, ulasan ataupun cuplikan gol dari pertandingan bola semalam sudah bisa dinikmati sambil minum kopi pagi.
Dari channel Youtube, akun media sosial khusus bola, hingga aplikasi yang memperbaharui informasi olehraga setiap detik, telah menggantikan peran media cetak. Tingkah lucu kartun Si Gundul di Bola pun kini sudah diganti dengan akun Instagram @tahilalats dengan 3 juta pengikut.
Demokratisasi via digital membuat banyak orang punya kapasitas untuk jadi sumber informasi sekaligus memiliki medianya sendiri yang murah dan gampang diakses. Produksi informasi itu tidak perlu lagi melewati deru mesin cetak, dan terkadang lebih otentik karena tak dikurasi oleh wartawan dan editor.
Inilah faktanya. Industri informasi dihidupi oleh orang-orang kreatif, bukan para pemilik modal. Inovasi muncul dari banyak tempat, bukan hanya di departemen penelitian dan pengembangan perusahaan besar. Perubahan itu menyingkirkan orang-orang yang tidak menyiapkan diri.
“Jurnalis harus relevan di setiap platform dan setiap generasi,” ujar wartawan dan pendiri Narasi TV, Najwa Shihab di panggung Paragon Innovation Summit 2018 pekan lalu. Kuncinya, tambah Najwa, bukan menguasai teknologinya, tetapi kemampuan untuk terus belajar hal baru.
Kemampuan belajar hal baru, catat itu. Sia-sia Anda memiliki perusahaan dengan masin-mesin mahal, tapi ternyata tidak lagi relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Beradaptasilah dan miliki sikap ingin tahu (curiosity) yang kuat.
Sikap terbuka dan mau belajar hal baru itu semacam wadah, yang ketika dibuka maka banyak hal bisa masuk. Karena itu, selain rasa ingin tahu, buatlah telinga Anda lebih peka.
Kematian Bola tak perlu ditangisi, mungkin justru perlu dirayakan bahwa kita akan sampai pada tahap penghemantan kertas dan proses yang lebih efisien dalam memanfaatkan energi. Banyak inovasi yang menggantikannya, bahkan jauh lebih baik dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Inovasi seharusnya bukan barang mewah di tengah kemudahan dan kelimpahan sumber daya yang kita miliki saat ini. Sayangnya, indeks daya inovatif Indonesia masih di peringkat 85 dari126 negara yang tertera di Global Innovation Index 2018. Apakah kita kurang pintar?
Rasanya tidak juga. Menurut Ridwan Kamil, di panggung yang sama dengan Najwa, masyarakat Indonesia itu pintar-pintar, rata-rata bisa tiga bahasa, dan paling optimistis. Namun, sebelumnya memang banyak di antara yang pintar itu tak pernah dapat panggung dengan semestinya. Kekurangan lainnya adalah malas membaca.
Di era digital, panggung itu terbuka lebar. Jika Anda perhatikan, banyak orang kreatif memanfaatkan media sosial untuk berkarya dan mendapatkan panggung impiannya, tidak perlu melewati audisi birokrasi berbelit. Bahkan, anak-anak muda tak perlu berlama-lama meniti karier hanya untuk bisa didengar atau jadi petinggi di perusahaan bernilai triliunan.