Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kisah Evan Dimas & Luis Milla, Baru Tahu Dia!

Indonesia memulai Pra-Piala Asia U-23 2018 dengan hasil buruk, kalah dengan skor telak 0-3 dari Malaysia. Hasil yang membuat Indonesia sulit lolos ke putaran final tahun depan di China.
Evan Dimas Darmono/Antara
Evan Dimas Darmono/Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia memulai Pra-Piala Asia U-23 2018 dengan hasil buruk, kalah dengan skor telak 0-3 dari Malaysia. Sayangnya, mestinya kekalahan itu tidak terjadi jika pelatih Luis Milla Aspas menurunkan Evan Dimas Darmono sejak awal.

Itu terbukti saat babak kedua, masuknya Evan Dimas membuat permainan Indonesia jauh lebih baik. Tapi semua terlambat lantaran kita sudah kalah tiga gol, apalagi kemudian Garuda Muda mesti main dengan 10 orang setelah Asnawi Bahar kena kartu merah pada menit ke-70.

Yang menyedihkan ialah komentar Milla selepas laga. Dia mengaku tak turunnya Evan Dimas sejak kick-off—bahkan bek tangguh Hansamu Yama Pranata sama sekali tak dimainkan—karena merupakan bagian dari strategi. Dia mengatakan pula bahwa dalam pandangannya semua pemain sama bagusnya.

Melihat reputasinya sebagai pelatih yang membawa Spanyol juara Piala Eropa U-21 edisi 2011, apalagi catatannya sebagai gelandang bertahan Real Madrid, Barcelona, Valencia, dan Timnas Spanyol, jelas Milla bukan orang sembarangan.

Masalahnya, sehebat apa pun pelatih, jika tidak dibekali pengetahuan yang cukup tentang skuatnya, dapat dipastikan dia tak tahu persis mana pemain yang harus diandalkannya menggebrak lawan sejak awal.

Menyimak materi Timnas U-23 saat ini, jelas mereka pun bukan pemain yang berkemampuan pas-pasan. Apalagi di antara mereka pun banyak alumnus Timnas U-19 yang dibawa Indra Sjafri juara Piala AFF U-19 edisi 2013.

Yang menyedihkan ialah komentar Milla yang mengaku tak turunnya Evan Dimas sejak kick-off merupakan bagian dari strategi

Mereka pun di lapangan telah memperlihatkan upaya keras untuk mencetak gol, namun skema permainan yang tak terpola dengan rapi dan ketiadaan ruh permainan membuat upaya Garuda Muda sia-sia.

Kembali ke Milla, semestinya ada peran asisten pelatih asli Indonesia yang membantunya mengenali kelebihan dan kekurangan setiap pemain sekaligus memberi masukan pemain mana yang mestinya masuk starting XI. Dalam hal ini asisten pelatih Bima Sakti Tukiman dapat memaksimalkan perannya untuk itu.

Lain halnya jika Bima Sakti telah menginformasikan hal itu secara terperinci kepada Milla, namun sang pelatih kepala menampik masukan itu, berarti masalah memang ada pada sang bos tersebut.

Kini, setelah kalah 0-3 dan nyaris langsung menutup peluang Indonesia untuk melaju ke putaran final Piala Asia U23 di China Januari tahun depan, barulah Milla tahu bahwa dia harus menurunkan Evan Dimas sejak awal, begitu pula Hansamu Yama, sebagaimana pengakuannya selepas kekalahan dari Malaysia.

Dia telah menjanjikan akan menurunkan keduanya sejak awal dalam dua laga berikutnya. Sekarang dia baru ‘mengenal’ Evan Dimas.

Semoga saja Milla memenuhi janjinya, termasuk menurunkan Hansamu, bek tangguh sekaligus eksekutor handal penyambut umpan sepak pojok di depan gawang lawan. Bagaimana pun, peluang Indonesia untuk lolos ke putaran final di China tetap terbuka setelah hasil pertandingan Thailand versus Mongolia seri.

Mencontoh Thailand

Terlepas dari Milla dan kebutaan informasinya mengenai segenap potensi setiap anggota skuatnya, ketergantungan Indonesia terhadap peran pelatih asing bisa disebut telah memasuki tahap kronis. Padahal, mereka nyaris selalu gagal membawa Indonesia ke posisi puncak, sama saja dengan catatan prestasi pelatih lokal.

Di sisi lain, sebenarnya Indonesia punya stok pelatih lokal yang kualitasnya lumayan mumpuni dan namanya layak diapungkan untuk jadi kandidat pelatih timnas. Sebut saja Nil Maizar, Rachmad Darmawan, Jafri Sastra, Indra Sjafri, ataupun Jacksen F. Tiago yang orang Brasil tetapi sebagian besar hidupnya telah berada di Indonesia.

RD, sebutan Rachmad, serta Jacksen, memang pernah menjadi pelatih Timnas, tapi itu hanya sesaat pada 2013 sehingga belum teruji sejauh mana capaian prestasi yang dapat diraihnya.

Mereka layak diberi kesempatan kembali, seperti juga Nil Maizar (2012-2013), yang saat Timnas pincang akibat kisruh PSSI, bisa mengimbangi permainan Timnas Irak dan hanya kalah 0-1 dalam laga kompetitif Pra-Piala Asia 2015 di tempat netral, Uni Emirat Arab, karena kondisi keamanan dalam negeri Irak sedang tidak memungkinkan menggelar pertandingan sepak bola internasional.

Pemahaman pelatih asing terhadap kemampuan para pemain yang tersedia di kompetisi, apalagi kalau dia tak punya cukup waktu mengikuti perkembangan sepak bola kita, jelas lebih rendah ketimbang pelatih lokal yang terus menerus mengikuti perkembangan bola nasional.

Mencontoh Thailand yang prestasinya jauh lebih baik ketimbang Indonesia, pandangan mereka tak dilamurkan dengan cahaya gemerlap pelatih asing. Hampir sebagian besar waktu timnas Negeri Gajah Putih itu ditangani para pelatih lokal meski sempat ditangani beberapa waktu oleh pelatih asing termasuk saat ini Milovan Rajevac dari Serbia.

Sebut saja Kiatisuk Senamuang yang sukses membawa negaranya juara Piala AFF 2014 dan 2016 serta Piala Raja Thailand 2016. Lalu ada Charnwit Polcheewin yang mengantar Timnas Thailand juara Piala Raja 2006 dan 2007.

Mundur ke rentang waktu yang lebih jauh terdapat nama legenda sepak bola Thailand Witthaya Laohakul, yang pernah merumput bersama Hertha Berlin, yang membawa negaranya juara Sea Games 1997 di Jakarta, Yanyong Na Nongkhai saat mereka juara Sea Games 1983 termasuk menghantam Indonesia 5-0 di Singapura.

Sebelumnya ada Prawit Chaisam yang mengantar Negeri Gajah Putih juara Piala Raja 1981 dan 1982 serta Sea Games 1981, Supakit Meelarpkit juara Piala Raja 1980, Vichit Yamboonraung juara Piala Raja 1979, Naowarat Patanon juara Seap (Southeast Asian Peninsular Games, sebelum berubah menjadi Sea Games sejak 1977), serta Pratiab Thesvisarn juara Seap Games 1965.

RD dan Jacksen memang pernah menjadi pelatih Timnas, tapi itu hanya sesaat pada 2013 sehingga belum teruji sejauh mana pencapaian prestasinya. Mereka layak diberi kesempatan kembali

Para pelatih asli Indonesia pun pernah menorehkan catatan bagus. Sebut saja Bertje Matulapelwa yang mengantar Merah Putih juara Sea Games 1987. Setahun sebelumnya Bertje meloloskan Indonesia ke semifinal Asian Games di Korea Selatan. Bertje juga membawa Indonesia juara Anniversary Cup 1987.

Pada 1985, ada pula pelatih lokal yang hebat dan membawa Indonesia lolos sebagai juara Sub-Grup 3B Pra-Piala Dunia 1986 dengan dua kali menaklukkan Thailand masing-masing dengan skor 1-0 di Jakarta dan Bangkok. Dia adalah Sinyo Aliandoe. Pada saat itu, bahkan sampai sekarang, kejadian Indonesia bisa mengalahkan Thailand merupakan barang 'mahal'.

Juga ada Nandar Iskandar yang membawa tim Garuda menjuarai Anniversary Cup edisi 2000. Pada 1984 trio pelatih Muhammad Basri, Iswadi Idris, dan Abdul Kadir memberi posisi runner up di Piala Raja Thailand, serta Suwardi Arland membuat Indonesia runner up Piala Presiden Korsel 1972 dan runner up Anniversy Cup 1978.

Pemerintah dan berlapis-lapis elite bangsa kita menyuarakan penggunaan produk dalam negeri. Yuk, dalam urusan sepak bola kita pun mencoba memanfaatkan jasa pelatih dalam negeri.

Jangan sampai seperti Milla yang secara teknik kepelatihan tidak diragukan, tetapi baru tahu persis kualitas Evan Dimas setelah Indonesia dipermalukan (lagi) oleh tim asuhan Ong Kim Swee, yang dengan anak asuh berbeda juga menaklukkan Indonesia di final Piala AFF 2011.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper