Bisnis.com, JAKARTA - Setiap tendangan pasti memiliki tujuan. Di dalam sepakbola, semua berujung pada gol kemenangan, meski banyak hal lainnya yang tak sekadar membuat suatu gol.
Pertandingan sepakbola yang menarik tentu adalah yang tercipta banyak gol. Namun, kadang pesta gol dalam satu pertandingan bisa dimaknai bak sekeping uang logam.
Satu sisi, skor besar bisa menunjukkan superioritas satu tim seperti Jerman yang menggilas tuan rumah Brasil 7-1 di semifinal Piala Dunia 2014, ataupun, di sisi lain, memperlihatkan kelicikan dan hilangnya sportivitas seperti laga skor 12-0 kala Persebaya dibantai Persipura pada 1988.
Kontroversi memang terjadi secara global. 21 Juni 1978, Publik Brasil murka ketika timnya yang menang 3-1 atas Polandia, gagal ke babak final karena pada malam yang sama, Argentina berhasil menang 6-0 atas Peru.
Sikap Peru yang mengalah setengah lusin gol, membuat Argentina memimpin klasemen grup B dengan 5 poin atau sama dengan Brasil, tetapi unggul selisih gol. Daniel Passarella dkk yang berhak maju ke final, dan lalu menang atas Belanda yang tak lagi diperkuat Johan Cruyff . Skor 3-1 dengan 2 gol Mario Kempes membuat Tim Tango setidaknya lolos dari kekejaman rezim militer Jenderal Jorge Rafael Videla (1976-1981).
Skandal Gijon pada 32 tahun lalu juga memperlihatkan sepakbola main mata yang memalukan di ajang Piala Dunia 1982. Adalah timnas Aljazair yang meradang.
Di putaran grup, Aljazair yang mengandalkan Rabah Madjer tampil gemilang dengan menyikat Jerman Barat 2-1, Chile 3-2, meskipun dikalahkan Austria 0-2.
Dengan poin 4, Aljazair menanti partai Austria yang juga berpoin 4, menghadapi Jerman Barat pada 25 Juni 1982. Sebanyak 41.000 penonton di stadion El Molinón, Gijón menjadi saksi mata bagaimana Austria yang dibobol Jerman Barat di menit 10 melalui gol Horst Hrubesch, kemudian bermain santai tak ingin mengejar kemenangan. Hasilnya Jerbar dan Austria lolos, para pendukung Rabah Madjer pun mengacung-acungkan uang kertas di laga itu.
Di skala domestik, sepak bola Indonesia juga dipenuhi intrik yang memalukan. Ada pertandingan 'sabun' yang dikenal dengan istilah Sepakbola Ikrar, ketika Persib menang mudah 6-0 atas Perseman pada 1986, yang membuat kedua tim maju ke babak final di Senayan.
Skor itu diatur? Tidak ada yang memastikannya. Pastinya, Persib akhirnya juara 1986 setelah mengalahkan Perseman 1-0 lewat gol Djadjang Nurdjaman.
Namun, istilah sepakbola gajah baru muncul dua tahun kemudian. Sebutan yang sebenarnya mengacu kepada pertandingan di masa lampau, 21 Februari 1988, kala Persebaya dengan sengaja kalah 0-12 dari Persipura sehingga PSIS gagal ke 6 Besar kompetisi Perserikatan 1987/1988.
Saat itu, para pemain Persebaya pun bermain sesuai instruksi sang manajer (alm) H. Agil Ali, yang dikatakan sebagai strategi jitu, meski disesali Gubernur Jatim saat itu, Wahono. Hasilnya memang tepat, Persebaya lolos ke final dan lalu juara mengalahkan Persija.
Nah, wasit yang memimpin pertandingan kala Persebaya ngalah selusin gol tersebut berasal dari Lampung yang terkenal dengan pertandingan sepak bola gajah, di mana skor ditentukan oleh para pawang. Sejak itu, istilah sepak bola gajah pun melekat di ingatan banyak orang.
Kasus terkini terkait dengan pertandingan PSS Sleman versus PSIS Semarang mungkin bisa menjadi pelajaran berharga. Selalu dan selalu.
Pertandingan 8 besar Divisi Utama pada Minggu (26/10/2014) di Stadion Akademi Angkatan Udara (AAU) Adisutjipto Yogyakarta, Sleman, itu memang boleh dikatakan menyedihkan. Skor akhir adalah 3-2 untuk tuan rumah. Unik, kalau tidak mau dikatakan memuakkan, semua gol tersebut merupakan hasil bunuh diri dari para pemain kedua tim.
Gol PSIS dihasilkan oleh gol bunuh diri pemain PSS, yaitu Hermawan Putra Jati (menit 86) dan Agus Setiawan (menit 88). Adapun gol untuk PSS diciptakan oleh pemain-pemain PSIS, yakni Fadly Manan (90) dan Koemadi (90 dan 90+3).
Hukuman memang sudah dijatuhkan Komdis PSSI kepada kedua tim, dan para pemainnya pun terancam sanksi keras terancam larangan bermain seumur hidup. Periuk nasi para pemain jadi terancam karena strategi para ofisial.
Mursyid Effendi, mungkin boleh jadi contoh hidup sepakbola gajah karena sebiji gol bunuh diri di Piala Tiger 1998 kala timnas Garuda Indonesia menghadapi Thailand di babak penyisihan.
Kedua tim yang sebenarnya telah memastikan lolos ke semifinal justru bermain aneh dengan mencari kekalahan agar tidak bertemu tuan rumah Vietnam. Skor akhir 3-2 untuk Thailand berkat gol Mursyid.
Imbas sepakbola gajah itu memang cukup keras. kedua tim tersangkut sanksi dari FIFA, Ketua PSSI Azwar Anas pun harus turun tahta dan digantikan Agum Gumelar. Nasib pemain lebih parah, Mursyid hanya bisa pasrah bagaimana karier internasionalnya harus dikubur dalam-dalam.
Ternyata tak semua tendangan membawa keberuntungan dan strategi (semestinya) tak harus curang.