Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

LIGA INGGRIS: Liverpool & Dilema Steven Gerard

Seolah melanjutkan rekor buruk beberapa pertandingan terakhir, Liverpool harus menjalani drama melelahkan saat menghadapi Middlesbrough dalam pertandingan di Piala Liga, Rabu (24/9/2014).
liverpool  /Reuters
liverpool /Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Seolah melanjutkan rekor buruk pada beberapa pertandingan terakhir, Liverpool harus menjalani drama melelahkan saat menghadapi Middlesbrough dalam pertandingan di Piala Liga, Rabu (24/9/2014).

Anak asuh Brendan Rodgers tersebut berhasil memetik kemenangan. Tapi setelah kedua tim berjibaku 90 menit di babak normal dan 30 menit sisanya pada babak tambahan. Tidak cukup sampai disitu, keduanya pun harus melakukan adu tendangan penalti yang bertele-tele. Alhasil, skor 14-13 pun tersaji di akhir laga.

Bagi tim sekelas Liverpool yang dibebani dengan target juara EPL musim ini, menghadapi Middlesbrough dengan cara seperti itu jelas bukan sinyal yang bagus. Turun dengan beberapa pemain anyar, pasukan The Reds gagal menunjukkan permainan atraktif.

Lazar Markovic yang diboyong seharga 20 juta poundsterling gagal memenuhi ekspektasi. Gelandang asal Serbia ini hanya mampu berputar-putar tanpa bisa menembuh jantung pertahanan Middlesbrough. Aksi drible yang ditunggu-tunggu fans juga tak kunjung keluar. Pemain muda itu seperti terbebani dengan banderol mahal yang ditanggungnya.

Pemain anyar lainnya, Adam Lallana, sedikit lebih baik. Pemain Inggris ini menunjukkan determinasi tinggi sepanjang pertandingan. Tapi tetap saja, untuk ukuran pemain seharga 25 juta poundsterling, Lallana seharusnya bisa lebih berguna. Tapi di pertandingan itu,, beberapa kali dia seperti kebingungan saat memegang bola.

Sementara itu, Mario Balotelli yang didatangkan dari AC Milan juga belum mampu bersinar. Gerakan “Super Mario” terlalu lambat. Driblenya mudah ditebak. Dia juga belum maksimal membuka ruang. Apalagi malam itu dia dipasangkan dengan Rickie Lambert yang juga malas bergerak. Alhasil, lini depan Liverpool seperti mati kutu.

Di balik permainan pemain depan yang miskin kreativitas, masalah utama Liverpool sebenarnya terletak di lini belakang. Setelah menghajar Tottenham Hotspur 3-0 beberapa pekan lalu, gawang Simon Mignolet telah dibobol tujuh kali. Satu saat melawan Aston Villa, 3 gol memalukan dari West Ham United, satu gol ketika menghadapi Ludgoretz di Liga Champion, dan dua gol dalam pertandingan dini hari tadi.

Ini memang menjadi masalah akut yang sudah dialami Liverpool beberapa tahun terakhir. Bongkar pasang lini belakang juga sudah kerap dilakukan. Duet Martin Skrtel-Daniel Agger sebenarnya cukup menjanjikan beberapa musim ke belakang. Sayang, Agger yang sering bolak balik meja operasi akibat cedera membuat performanya menurun. Ini jelas membuat lubang besar di pertahanan The Reds.

Mendatangkan pemain berpengalaman macam Kolo Toure tak banyak membantu. Kolo hanya bermain apik di beberapa pertandingan awal. Setelah itu, dia nyaris tenggelam. Kolo yang sudah berusia 33 tahun kalah adu cepat dengan para penyerang di Liga Inggris yang lebih muda.

Menambal celah di lini belakang rupanya juga tidak semudah dengan membeli pemain mahal macam Sakho dan Dejan Lovren. Pemain yang disebutkan terakhir hanya bersinar saat tur pramusim. Di beberapa pertandingan awal, Lovren tidak menunjukkan kapasitasnya sebagai pemain seharga 20 juta pounds.

Kelemahan Liverpool yang selalu kesulitan menghalau bola-bola diagonal masih kerap terjadi. Lovren memang pandai membaca arah bola. Tapi dia terlalu lambat. Momen paling kentara saat pemain ini gagal mengejar Sergio Aguero ketika Manchaster City melumat Liverpool 3-1. Dengan koordinasi yang buruk di antara pemain, celah yang bisa dieksploitasi pemain lawan sangat terbuka.

Dilema Gerard

Tak ada yang bisa membantah loyalitas dan kapasitas Steven Gerard sebagai roh permainan Liverpool. Lebih dari satu dekade, sang kapten tetap setia berkosum merah. Ini tentu menjadi poin plus baginya.

Tapi di usianya yang sudah tidak muda lagi, Gerard adalah buah simalakama. Gerard muda dengan determinasi tinggi, drible ciamik dan tendangan gledeknya tidak lagi terlihat. Gerard semakin lambat. Tendangan jarak jauhnya seringkali tak terarah. Determinasi? Jangan berharap banyak. Bisa bermain 90 menit saja sudah sebuah prestasi.

Lantas, jika Gerard sudah tidak lagi menunjukkan performa terbaik, mengapa sang kapten masih rajin mengisi starting eleven? Jawabannya mungkin pada soal kepemimpinan. Banyak pemain muda Liverpool yang mengidolakan Gerard di masa kecilnya. Bermain bersama sang idola tentu akan meningkatkan moral para pemain. Tapi disinilah repotnya. Gerard seperti revolver kosong tanpa amunisi. Tidak bisa digunakan tapi membawa rasa aman.   

Di masa kepelatihan Kenny Dalglish, upaya untuk mempertahankan Gerard dilakukan dengan menariknya sedikit ke belakang. Dia tidak lagi diberi tugas mengobrak-abrik pertahanan lawan seperti pakemnya selama ini. Sebagai gantinya, Gerard bertugas melindungi empat pemain belakang dalam formasi 4-4-2 berlian. Mirip seperti posisi yang ditempati Andrea Pirlo di Juventus.

Awalnya posisi baru ini cukup berhasil. Beberapa kali Gerard menunjukkan long pass kelas wahid bagi lini depan Liverpool. Ditemani Henderson, Joe Allen, atau Lucas Leiva, sang kapten menjalani tugas barunya dengan baik. Ini terlihat dari lini tengah Liverpool yang kian solid di musim lalu, sehingga bisa finish di posisi 2.

Tapi usia lagi-lagi tidak bisa menipu. Dalam beberapa pertandingan awal musim ini, posisi yang ditempati Gerard justru jadi masalah baru. Fisiknya tidak lagi prima untuk menjalani tugas  memotong alur serangan lawan sekaligus melindungi empat pemain belakang. Gerard kerap kedodoran sehingga sering telat menutup ruang.  

Kinerja buruk sang kapten diperparah dengan performa tidak bagus dari Lucas Leiva. Ini membuat double pivot Liverpool seperti loyo dan tak bertenaga. Determinasi tinggi dari Henderson juga tidak banyak membantu.

Jika masih mau bersaing, Brendan Rodgers harus segera mengevaluasi peran Gerard. Rodgers mungkin bisa meniru langkah Chelsea saat pelan-pelan menggeser Frank Lampard. Ini juga untuk mengurangi ketergantungan. Sehingga saat sang kapten pensiun, Liverpool sudah bisa move on.

Faktor Suarez

Menjalani musim 2014-2015 tanpa Luis Suarez seperti membuat Liverpool mengulang semuanya dari awal. Musim lalu, lini belakang The Reds yang rapuh terselamatkan aksi menawan pemain Uruguay ini. Jika tidak bisa menciptakan gol, Suarez bisa membuka ruang bagi rekan-rekannya. Inilah yang membuat Sturridge dan Sterling bersinar di musim lalu.

Situasi seperti inilah yang hilang dari serangan Liverpool. Balotelli jelas bukan Suarez yang bisa melewati satu dua pemain lawan dengan mudah. Bergerak kesana kemari sehingga membingungkan bek lawan. Sterling masih terlalu muda untuk mengemban tugas itu. Sementara ketika Sturridge bergerak membuka ruang, Liverpool tidak memiliki pemain dengan finishing touch seefisien Suarez.

   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper