"Ayah apa benar di sepak bola Indonesia ada mafianya?" demikian celoteh anak Imam Nahrawi suatu hari.
"Tak hanya di sepak bola saja nak, di mana-mana ada mafia. Tapi karena sekarang jadi Menpora, maka izinkan bapakmu ini membereskan mafia bola ini," ujar Imam menjawab pertanyaan sang anak.
Percakapan itu diungkap Imam Nahrawi saat berbicara di sebuah forum di kampus Universitas Indonesia, Kamis (13/8).
Imam saat ini memang tengah menghadapi tantangan berat selaku Menteri Pemuda dan Olahraga di era Presiden Joko Widodo. Baru 10 bulan menjabat menteri, dia dihadapkan dengan permasalahan pembekuan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).
Tak heran apabila dia banyak dicerca sebagian masyarakat yang menuduhnya sebagai biang kekacauan persepakbolaan Indonesia. Tak hanya itu, imbas dari pembekuan PSSI itu berdampak pada para pelaku sepak bola terutama pemain yang menganggur.
Dugaan lain, imbas pembekuan PSSI menyebabkan kerugian hingga ratusan miliar yang berkaitan mulai dari klub, sponsor, hak siar, pemain dan lainnya.
Namun, bukan semata-mata Imam membekukan PSSI sebagai satu-satunya organisasi sepak bola yang ada di bawah naungan pemerintah. Dia punya alasan kuat kenapa harus ada perubahan di persepakbolaan Indonesia. Sebuah revolusi mental diharapkan terjadi.
Imam sadar betul nilai sebuah pertandingan sepak bola adalah sportivitas dan kejujuran. Tetapi, nilai luhur itu tampaknya tak terjadi di Indonesia, terlebih ketika dia menjabat sebagai Menpora.
Setidaknya, ada beberapa musabab kenapa dia merasa perlu mereformasi sepak bola Tanah Air di antaranya adalah persoalan transparansi keuangan, pengaturan skor, tata kelola klub dan latar belakang pengurus PSSI itu sendiri.
Kasus pengaturan skor misalnya yang tengah disoroti Imam saat ini. Dia kecewa ketika Menpora menguak kasus tersebut dan menemukan beberapa pengakuan yang mengkonfirmasi adanya praktik jual beli skor.
"Fondasi olahraga adalah sportivitas dan kejujuran, tapi setelah dibedah keduanya tak muncul di sepak bola kita. Yang ada adalah sebelum kicik off dimulai, sebelum wasit turun ke lapangan ternyata sudah ada pihak yang tahu siapa yang menang dan siapa yang harus kalah," katanya.
Bukan itu saja, kemenangan sebuah klub dalam pertandingan diduga telah dikemas sedemikian rupa, dengan cara apa, menit ke berapa, kapan kartu merah dan kuning harus dikeluarkan wasit. Itu semua, kata Imam sudah diatur oleh mafia sepak bola Tanah Air.
Menurut Imam, dari semua kekacauan sepak bola Tanah Air tersebut dia menduga ada pihak yang menggerakan dan memonopoli sepak bola Indonesia untuk kepentingan pribadi, terutama dalam bisnis perjudian.
Padahal, dia ingin sepak bola Indonesia bisa maju dan berkembang dengan menjunjung nilai-nilai sprotivitas. Dia merasa malu dengan sepak bola Myanmar dan Vietnam yang dinilai selangkah lebih maju dibandingkan Indonesia.
Terlebih, jumlah penduduk Indonesia yang hampir 100 juta penduduknya adalah pecinta sepak bola. Selain itu, Indonesia juga disebut-sebut sebagai supporter terbesar klub-klub sepak bola Eropa. Sayangnya, industri sepak bola di Tanah Air sendiri sampai saat ini kurang maju.
Dengan adanya pembekuan PSSI tersebut, Imam berharap adanya proses pembenahan secara menyeluruh di tubuh persepak bolaan Indonesia. Urusan adanya pihak yang memanfaatkan sepak bola sebagai ajang judi, dia mengaku tak ada masalah.
"Saya ingin katakan silakan berjudi bola tapi jangan pernah hasil judi atau cara judi itu masuk ke pengaturan skor dan lapangan. Berjudi cukup di tribun saja," ujarnya.
Imam mengingatkan apabila sebuah perjudian sudah masuk ke wilayah lapangan dan melibatkan wasit, pemain dan elemen sepak bola, maka bukan sportivitas yang akan diperoleh tetapi ketakutan para pemain saat bertanding. "Mereka takut apabila tidak mengikuti arahan, imbasnya mereka berani cetak gol ke gawang sendiri."
Dengan adanya kekisruhan sepak bola ini, Imam mengaku bukan untuk membunuh persepakbolaan Tanah Air seperti yang diberitakan media. Bahkan, dia menduga ada satu media yang sengaja menggiring isu bahwa dirinya sengaja mematikan sepak bola nasional.
Namun, Imam tak akan pernah mundur. Selaku mantan aktivis yang mengenyam idealisme di kampus, kebenaran yang dia genggam akan terus dipertahankan. Selama pembekuan PSSI itu dinilai benar, dia akan berjuang sekuat tenaga.
"Saya berharap soal sepak bola ini nanti pada Februari akan kelihatan hasilnya. Tinggal bagaimana kita melakukan reformasi dan polanya," katanya.