BISNIS.COM, JAKARTA-Hasil laga semifinal leg pertama Liga Champions mencetuskan drama bersejarah bahwa hanya mereka yang menganut asa berdiri di atas kaki sendiri atau berdikari, kelak mendulang mutiara-mutiara digdaya di hamparan rumput hijau bagi duel dua tim Jerman di final.
Berdikari, di mata Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund, bukan mengandalkan semangat ngemis sana, ngemis sini. Kedua tim Jerman itu siap siaga melakoni leg kedua sebelum kedua tim melenggang ke gerbang final di Stadion Wembley.
Berbekal kemenangan 4-0 atas Barcelona pada leg pertama (23/4/2013), Bayern jelas-jelas lebih berpeluang melaju ke final. Dan berpanduan kemenangan Dortmund 4-1 atas Real Madrid (24/4/2013), terang benderang Dortmund menatap Wembley. "All-German final" pada 25 Mei 2013.
Duo Jerman memandang final Wembley dengan asa berdikari sarat percaya diri, bukan meminta belas kasihan atau mengharap uluran tangan orang. Duo Jerman tidak sedang berpesta pora dengan iringan genderang pesona sepak bola "rama-ramai tapi asyik".
Duo Bundesliga melibas dua raksasa sepak bola Spanyol untuk mempercepat laju lokomotif "all-german final" menuju stasiun Wembley. Komat-kamit pemerhati bola menyebut bahwa Spanyol kini berziarah di pusara masa lalu. Setali tiga uang dengan Liga Inggris (Premier League) dan Liga Italia (Serie A).
Penampilan ciamik duet Bundesliga mewakili saripati sepak bola Jerman meski kedua tim memang tidak sepenuhnya murni berdikari, karena bercokol laskar luar Jerman, Arjen Robben (Belanda) dan Franck Ribery (Prancis). Apakah berdikari di mata duet Bundesliga mengalami defisit?
Duet Bundesliga mengusung kombinasi tiga sisi semangat berdikari, yakni keunggulan teknik, kecepatan dan ketepatan melepaskan operan, dan trengginas dalam pergerakan antar pemain.
Kerja sama antar lini duet Bundesliga memutar balik jam sejarah sepak bola global. Tanpa ketepatan dan tanpa kecepatan, berdikari tinggal susunan huruf indah di buku bertitel "Pada Jaman Dahulu Kala".
Cara Barcelona takluk seakan mengingatkan orang akan final Piala Dunia 1954 di Swiss. Ketika itu Jerman Barat menghadapi Hungaria yang nota bene menjadi raksasa sepak bola jaman itu.
Punggawa Jerman masuk ke lapangan tanpa kepercayaan diri. Ujung-ujungnya Hungaria melibas Jerman dengan skor 8-3 di babak penyisihan grup. Berdikari tanpa kepercayaan diri bagaikan menggantang asap.
Di laga berikutnya, penampilan Hungaria mirip-mirip Barcelona. Kondisi Ferenc Puskas, seperti Lionel Messi, sedang dibekap cedera. Pemain andalan Hungaria itu tidak tampil maksimal setelah pulih dari cedera.
Ujung-ujungnya skuad Jerman merajalela dengan mengandalkan keunggulan teknik, kecepatan dan ketepatan melepaskan operan. Jerman yang memamerkan pergerakan antar pemain yang trengginas mengalahkan Hungaria 3-2.
Sejak saat itu, tim-tim Jerman tidak boleh dipandang sebagai tim kacangan alias tim yang pesimistis. Duet Jerman melaju ke perempat-final di Liga Champions musim 2012/13 mengubah peta sepak bola Eropa. Sejak saat peristiwa 1954, tim-tim Jerman bermerk "tim sarat optimisme" bak laju Panzer di medan tempur.
Bayern dan Dortmund mengusung roh optimisme. Berdikari bertetangga dengan optimisme. Mereka yang pesimistis adalah mereka yang mengingkari asa berdikari.
Optimisme Dortmund terus diuji. Jelang laga versus Real Madrid pada leg pertama semifinal Liga Champions, konsentrasi kubu Dortmund diusik warta sumbang pada Selasa (24/3), bahwa gelandang Mario Goetze dinyatakan resmi hengkang ke Bayern Muenchen di musim depan.
Sehari kemudian, giliran striker Robert Lewandowski yang dikabarkan telah pasti bergabung dengan Die Roten. Jelas, fans setia Die Schwarzgelben bereaksi negatif menyikapi keputusan Goetze. Komitmen kedua pemain mengundang tanya. Alasannya, komitmen adalah segalanya di mata asa berdikari.
"Kami berjanji akan ke London, meski kami harus tidur dalam mobil," kata Lukas, salah seorang fans setia Dortmund. Ketika tim kesayangan mereka merontokkan Real Madrid, mereka sontak berseru, "Kami semua pasukan Dortmund." Tembang-tembang itu kerapkali terdengar di Jerman dalam beberapa pekan mendatang, sebagaimana dikutip dari situs Guardian.
Untuk mengobarkan dan membesarkan hati pendukung kredo All-German Final, digelar festival nyanyi dan tari di jalan-jalan kota Dortmund dan Muenchen. Mereka membawakan tembang sukacita bahwa berdikari dibangun dari rumus harapan plus mimpi di laga sepak bola.
Mereka melumasi cita-cita All-German Final dengan melambungkan mimpi dan menerbangkan harapan ke haribaan nada-nada sarat gembira. Tiada sepak bola tanpa gembira.
All-German Final bukan tanpa pencobaan. Skandal pajak menerpa presiden Bayern Muenchen, Uli Hoeness. Dan pendukung Dortmund berang dengan rencana penjualan Mario Goetze.
"Bayern mencuri Goetze dari kami," kata salah seorang pendukung Dortmund yang mengenakan kostum kuning dilengkapi dengan tulisan Judas, sosok yang mengkhianati Yesus Kristus.
Pemimpin redaksi Kicker, Jean-Julien Beer melukiskan demam All-German Final sebagai kebangkitan sepak bola Jerman di Benua Biru.
"Bandul kekuatan di Eropa kini mulai alih kekuasaan," katanya. Dan gelandang Muenchen, Thomas Mueller memperingatkan bahwa, "Sepak bola tetaplah sepak bola. Dortmund mampu mencetak dua gol dalam 90 menit. Secara teoritis, anda perlu mencetak 180 gol."
Komentar bernada skeptis datang dari pengamat di harian Suddeutsche, Carsten Eberts dengan mengajukan pertanyaan, "Nah, bagaimana menjelaskan bahwa Jerman memang telah mendominasi? Kini Kekuatan sepak bola Spanyol menuai cemooh sana-sini, dengan menyebut bahwa taktik mereka telah usang, dan sepak bola Jerman tampil di gelanggang internasional. Apakah semuanya ini cukup memadai?"
Dengan All-German Final, drama euphoria kelak membakar seluruh London. Ribuan warga Jerman berbondong-bondong menyerbu Inggris dengan menumpang pesawat terbang, kereta api dan feri. "Kini jelas liga mana yang terbaik di dunia dalam beberapa tahun ke depan," kata CEO dari Bundesliga (DFL), Christian Seifert.
Jelas bahwa duel dua Jerman di Wembley menjadi luka mendalam bagi tabloid-tabloid Inggris yang selama ini nyinyir dengan Bundesliga. Mereka paham bahwa sepak bola Jerman tidak dibangun dalam lintas mimpi semalam, sebagaimana dikutip dari situs The Observer.
Situs online Spiegel menulis, "Boleh saja Lionel Messi terpilih sebagai pesepak bola terbaik dunia. Kini ia dirundung sedih, sementara Robert Lewandowski (striker Borrusia Dortmund) boleh berkacak pinggang karena penampilannya demikian mengkilap."
All-German Final, merujuk kepada tekad membaja dari DFL yang mengatur kepemilikan klub-klub di Jerman. Bahwa klub-klub sepak bola Jerman bukan kuda tunggang bagi para investor untuk mengeruk profit.
Satu kata, satu setia. Yang berdaulat dan berkuasa penuh atas klub-klub sepak bola Jerman hanyalah para anggota mereka sendiri, termasuk fans dengan disemangati asa berdikari.
Bayern dan Dortmund dimiliki komunitas lokal yang tetap menjaga dan memperjuangkan aspirasi para pendukungnya. Meskipun Wolfsburg dan Bayer Leverkusen punya ayah angkat perusahaan otomotif Volkswagen dan perusahaan farmasi Bayer. Kedua perusahaan itu tetap menawarkan sahamnya kepada publik.
Semangat berdikari juga mengilhami penjualan tiket bagi fans yang hendak menyaksikan laga Liga Champions di Allianz Arena. Untuk tiket terusan selama satu musim, fans dikenakan bayaran 120 Euro, sementara harga tiket satu pertandingan Bundesliga senilai 7,05 Euro.
"Kami dapat saja menaikkan harga tiket sampai dua atau tiga kali lipat. Tapi buat apa? Toh Bayern telah memperoleh kucuran dana jutaan Euro dari transfer pemain hanya dalam lima menit negoisasi," kata Hoeness.
Pekan lalu di Dortmund berkobar revolusi kecil-kecilan soal tiket. Manajemen Borrusia memotong harga tiket dengan pertimbangan "bahwa ada nilai kesetiaan yang perlu diberi penghargaan".
"Tidak dapat diterima bahwa fans setia kami menempuh jarak 400 kilometer dari Stuttgart kemudian mereka harus membayar 60 Euro," kata CEO Dortmund, Hans-Joachim Watzke. Bayern menetapkan, harga tiket bagi penonton berdiri sepanjang musim dikenakan 23 Euro.
"Jelas bahwa tanpa ketentuan itu, atmosfer stadion dalam setiap pertandingan tidak semeriah seperti malam ini," kata Juergen Klopp ketika mengomentari kemeriahan laga Dortmund melawan Real Madrid di leg pertama.
Kocek Bayern tidak perlu gusar. Perusahaan raksasa di Jerman (Audi dan Adidas) memiliki saham minoritas di klub itu.
Bayern juga punya sistem pembinaan sepak bola usia muda yang mumpuni. Langkah itu ditempuh sebagai upaya penghematan, dengan tidak terlalu banyak menggelontorkan uang relatif banyak untuk mendatangkan para pemain asing. Berdikari ala Bayern!
"Defisit tidak akan terjadi (di klub-klub Jerman) ," kata Watzke. Kebijakan berdikari ala Bayern juga dianut oleh klub-klub di Jerman.
Bundesliga mewujudkan hukum besi dari asa berdikari bahwa "sekali dayung dua tiga pulau terlampaui", karena ternyata uang bukan segalanya dalam sepak bola. Uang menciptakan jurang pendapatan antara mereka yang berkelimpahan dengan mereka yang berkekurangan.
Selamat datang sepak bola global bermerk "made in Germany". Drama final di Wembley mengisahkan kepada masyarakat seantero bahwa tidak ada jalan pintas lewat Rusia atau Abu Dhabi.
Di atas gelontoran uang, hanya ada kisah dari riang gembira segelas bir, gurihnya saus hamburger dan luasnya teras kafe yang siap menanti dan menyambut setiap tamu dengan kata-kata "jangan ada dusta di antara kita".
(AA Ariwibowo/antara)