Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kelas lokal, tapi banyak gaya

JAKARTA: Tadi malam, dalam rapat di salah satu hotel berbintang Jakarta, Ketua Umum PSSI Djohar Arifin (foto atas) resmi melakukan peromabakan di tubuh kepelatihan tim nasional sepakbola Indonesia.Kedua kalinya sejak guru besar olahraga ini memimpin

JAKARTA: Tadi malam, dalam rapat di salah satu hotel berbintang Jakarta, Ketua Umum PSSI Djohar Arifin (foto atas) resmi melakukan peromabakan di tubuh kepelatihan tim nasional sepakbola Indonesia.Kedua kalinya sejak guru besar olahraga ini memimpin otoritas sepakbola nasional terjadi pergeseran pelatih kepala.Wim Rijsbergen yang belum genap setahun melatih tim senior, harus lengser digantikan mantan asisten pelatih timnas U-23, Aji Santoso. Aji yang juga mantan kapten timnas ini sendiri naik pangkat sebagai pelatih tim senior merangkap U-23. Wim kini duduk manis sebagai direktur teknik. Posisi yang nyaris tak bergigi.Bongkar pasang pelatih di tubuh tim nasional Indonesia sudah biasa, bahkan terlalu biasa. Sejak 1992 sampai dengan penghujung 2011, sudah 14 orang pelatih dari dalam negeri maupun asing yang pernah menduduki kursi panas tersebut.Di tambah masuknya Aji Santoso, maka sudah ada 15 orang pelatih yang menangani Tim Garuda. Hasilnya, memang bisa kita lihat sendiri, rata-rata gagal melahirkan prestasi, jika ukuran prestasi adalah juara di pentas multibangsa.Pelatih terakhir yang berhasil mempersembahkan prestasi adalah Anatoli Polosin yang membawa Ferryl Raymond Hattu dkk merebut medali emas Sea Games Manila Filipina pada 1991. Setelah berhasil menggondol emas, Polosin tak dipertahankan.Model kepelatihan yang keras dan mengutamakan fisik prima, rupanya tak disukai kebanyakan pemain penghuni merah putih saat itu.Tempat Polisin digantikan Ivan Toplak asal Yugoslavia. Dalam satu wawancara pada 1992, Toplak merasakan beratnya tuntutan yang harus diemban pelatih sepakbola di Indonesia ini.Bak piramida, Toplak menggambarkan sepakbola Indonesia ingin langsung menuju puncak, padahal fondasi dan infrastruktur sepakbolanya masih minim.Saat itu, kompetisi masih diikuti 10 klub. Bayangkan, dengan 10 klub otomatis pilihan pelatih terhadap pemain menjadi terbatas. Belum lagi soal fisik pemain yang terkuras karena lelah menempuh perjalanan,  terbang dari satu tempat ke tempat lain."Saya tak bisa meciptakan pemain hebat dalam semalam," katanya saat itu. Gagal di Sea Games Singapura 1993 menjadi akhir karir Toplak.Dua dekade telah berlalu, tapi rupanya sepakbola kita terus menerus mencari bentuk ideal. Bukannya kian modern, tata kelola sepakbola Indonesia masih terlihat kuno. Meminjam istilah lawakan Tukul Arwana, katrok !Publik negeri ini pasti gemas melihat polah para pengurus otoritas sepakbola yang kerap berdebat hanya soal urusan sepele. Biang keladinya statuta. Ada yang bilang pengurus PSSI sekarang melanggar statuta, satu sisi berdalih tak melanggar statuta.Pertanyaannya sederhana saja, mereka berada dalam satu wadah sepakbola yang sama, lantas statuta mana yang dibaca masing-masing pihak yang bersitegang ini. Kenapa urusan memahami aturan saja, pengurus sepakbola sampai terbelah.Hasil kongres di Solo yang diharapkan menjadi babak baru bagi sepakbola Indonesia, justru kian tak karuan. Konflik di tingkat pengurus semakin meruncing, kompetisi terbelah dua, hingga urusan pemain pindah klub saja dibawa-bawa sampai gedung parlemen.Lantas publik mau berharap prestasi yang seperti apa yang akan lahir, jika PSSI sendiri tak mampu mengelola organisasinya secara mandiri, secara profesional.Kita pernah pernah merancang visi menakjubkan 'Menuju Pentas Dunia 2002', namun gagal dengan sempurna.Plesetan kartun di di sebuah tabloid olahraga, mengilustrasikannya dengan lucu soal visi ini. Angka 2 dibelakang, dimajukan sehingga menjadi 2020. Jadilah visi ulang 'Menuju Pentas Dunia 2020'. Artinya, masih ada 8 tahun lagi. Kalau toh gagal lagi, mungkin cukup majukan selangkah lagi jadi 2200.Suksesi pemimpin di tubuh PSSI, rupanya masih jauh dari harapan melahirkan prestasi dan kompetisi berjenjang yang berbobot. Demikian halnya dengan bongkar pasang pelatih. Jangankan menuju world class, tingkat regional saja kita kalang kabut dan perlu banyak belajar dari negara tetangga.Saat berkunjung ke kantor redaksi Bisnis Indonesia, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan banyak bercerita soal leadership development di negeri ini. Di antara paparannya yang panjang, satu yang menarik perhatikan adalah minimnya suplai pemimpin berskala internasional, pemimpin world class.Lalu dia menggambarkan pemimpin world class itu seperti apa? World class itu seperti pemain sepabola Indonesia. "Selama belum ada pemain yang bermain di Liga Inggris, Liga Spanyol, pemain kita belum bisa disebut world class. Mau seterkenal apapun Bambang [Bambang Pamungkas], mereka hanya local player".Artinya, tak perlu kita gembar-gembor menembus pentas sepakbola dunia, kalau mengurus organisasi nasional saja masih acak kadut, semangatnya lokal, penuh nuansa politis lagi.([email protected]) (tw) 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Djony Edward
Editor : Nadya Kurnia

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper